Kejaksaan
Agung Republik Indonesia pada Minggu dini hari (18/1) telah melakukan eksekusi
mati terhadap 5 orang terpidana narkotika. Dari 5 orang tersebut, satu di
antaranya adalah warga negara Indonesia. Eksekusi mati ini kembali memunculkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat yang setuju dan menolak pemberlakuan
hukuman mati.
Bagi
yang setuju, hukuman mati memang harus diberlakukan lantaran kejahatan yang
dilakukan memang harus dibalas dengan nyawa lantaran tingkat bahaya dampak
kejahatannya harus dibalas dengan nyawa. Sementara yang kontra hukuman mati,
menganggap tak ada satu pun pihak yang bisa menghabisi nyawa seseorang, kecuali
Tuhan. Hukuman mati juga kerap disandingkan dengan tuduhan-tuduhan melanggar
HAM.
Para
pegiat HAM mengemukakan Setidaknya ada tiga alasan kenapa hukuman mati harus
ditolak. Pertama, mencabut nyawa seseorang merupakan hak Tuhan semata. Dua,
hakim yang memvonis mati terhadap terdakwa adalah manusia yang tidak sempurna
sehingga selalu ada kemungkinan menghasilkan keputusan salah. Tiga,
sejelek-jeleknya manusia seharusnya diberi kesempatan untuk menjalani
pertobatan atas kejahatan yang diperbuat.
Eksekusi
mati para terpidana narkoba ini juga dikecam Dewan Amnesti Internasional. Pernyataan
tersebut, disampaikan lembaga tersebut melalui laman resminya di amnesty.org.
Kecaman tersebut keluar dari lembaga ini mengingat kampanye Presiden Jokowi
yang terus mengedepankan peningkatan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan,
kebijakannya untuk menghukum mati justru sangat bertentangan dengan HAM.
"Pemerintah
Indonesia harus menghentikan rencana tersebut secepatnya. Presiden Joko Widodo
dalam kampanyenya berkomitmen untuk meningkatkan hak asasi manusia (HAM), dan
hukuman mati merupakan hal yang serius dalam catatan hak asasi manusia,"
ujar Direktur Penelitian Pengampunan Internasional untuk Asia Tenggara dan
Pasifik, Rupert Abbott, Sabtu (6/12).
Presiden
Joko Widodo terkekeh begitu mendengar desakan Dewan Amnesti Internasional yang
memintanya menghentikan eksekusi lima terpidana mati. Dia menegaskan,
pelaksanaan hukuman mati musti dilaksanakan sesuai perintah pengadilan.
"Itu
hukum positif di Indonesia, dan sudah diputuskan oleh pengadilan. Ya semuanya
harus hargai bahwa setiap negara itu mempunyai aturan sendiri-sendiri,"
ujar Jokowi sembari terkekeh usai menggelar teleconference di Bina Graha,
Jakarta, Senin (8/12).
Bagaimana
hukuman mati dilihat dari konteks agama? Sebagian besar ulama setuju dengan
pemberlakuan hukuman mati. Selain juga diatur dalam Alquran, hukuman mati juga
masih berlaku di banyak negara, termasuk Indonesia.
Dalam
Alquran, seperti halnya di kitab Taurat, diajarkan tentang hukuman qishas,
yakni hukuman yang setimpal bagi para pelaku kejahatan. Misalnya orang yang
membunuh juga harus dibunuh. Ini dimaksudkan bahwa jika kita melakukan
kejahatan maka hukumannya tidak main-main, setimpal dengan kejahatan yang kita
lakukan.
Seperti
halnya diatur dalam Alquran: "Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
Memberlakukan qishas atas pembunuhan. Nyawa Orang merdeka bayar dengan merdeka,
budak bayar budak, perempuan bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka
lakukanlah. Dengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian (memaafkan
itu) merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya," (QS 2.178).
Munas
Alim Ulama NU beberapa waktu lalu juga menyetujui diberlakukannya hukuman mati
kepada koruptor. Putusan ini menjadi salah satu hasil dari sidang komisi masail
al waqi'iyah. Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Koruptor ada dua macam.
Yakni Koruptor yang merugikan negara dan membangkrutkan negara.
"Koruptor
yang merugikan bisa dihukum sesuai kejahatannya. Namun yang membangkrutkan
negara hingga triliunan rupiah hendaknya dihukum mati," kata Said Aqil.
Ormas Muhammadiyah pun juga tak jauh berbeda dengan NU soal pemberlakuan
hukuman mati.
Namun
bagi para penentang hukuman mati, memaafkan dianggap sebagai jalan yang
terbaik. Toh dalam Alquran, misalnya, memaafkan pelaku pembunuhan juga
dianjurkan. Karena memaafkan adalah merupakan bentuk kasih sayang.
Dalam
siaran persnya, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (Iska) juga menolak
pemberlakuan hukuman mati dalam kasus apapun termasuk narkoba dan teroris.
Penolakan itu diungkapkan oleh Tim Advokat Tolak Hukuman Mati (TATHM) yang
antara lain terdiri dari Paskal Da Cunha SH, Hermawi Taslim SH, Sandra Nangoi
SH, DR Liona Nanang Supriatna SH dan Beny Sabdo SH di Jakarta, Minggu (18/1)
kemarin.
Iska
menyebutkan, ada dua dasar yang digunakan dalam penolakan pemberlakukan hukuman
mati, yakni dari sudut HAM bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup yang
tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dan setiap
orang berhak atas hidupnya (Hak Azasi Manusia). Lalu dasar yang kedua adalah
Pasal 28A UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
"Tak
satupun orang di dunia ini memiliki hak untuk mengambil hidup orang lain.
Hukuman mati itu seharusnya tidak perlu dijatuhkan kepada seseorang jika aparat
penegak hukum mampu membangun kepercayaan publik atas semua peraturan yang ada.
Harus ada alternatif hukuman lain untuk menggantikan hukuman mati tersebut.
Selama pengadilan di Indonesia belum dapat berdiri secara netral dan mendapat
kepercayaan dari masyarakat atas keputusan yang diberikan, hukuman mati harus
ditolak," tegas Paskal dalam rilisnya.
Senada
dengan Paskal, pastur Katolik, Romo Benny Soesetyo menolak pemberlakuan hukuman
mati bagi para bandar narkoba. Tempat-tempat isolasi diangap cukup menghukum
mereka.
"Kalau
menurut kami, memang mesti kita adakan tempat-tempat isolasi khusus bagi para
bandar itu. Sehingga mereka bisa merasakan penderitaan. Itu baru ada efek
jera," kata Romo Benny.
Sementara
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assiddiqie mengaku secara pribadi tidak
sependapat dengan hukuman mati. Namun lantaran saat ini masih ada undang-undang
yang mengaturnya, maka tidak mungkin hukuman mati dihapus dalam waktu dekat.
"Meskipun
secara pribadi saya setuju pidana mati dihapus. Tapi sekarang laksanakan dulu,
narkoba sudah darurat," kata Jimly belum lama ini.
Sebelumnya,
Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak permohonan dua orang terpidana mati
kasus pencurian dengan kekerasan, Raja Syahrial alias Herman alias Wak Ancap
dan Raja Fadli alias Deli. Kedua Pemohon ini meminta MK membatalkan Pasal 365
ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Mengadili,
menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim
Konstitusi Achmad Sodiki menggantikan sementara Ketua MK dalam sidang putusan
di Ruang Sidang Utama Gedung MK 18 Juli 2012 silam.
Sodiki
saat menjelaskan, Mahkamah menyatakan permohonan yang diajukan oleh Pemohon
tidak memiliki alasan hukum yang kuat. "Permohonan para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum," ucap dia.
Selain
itu, Mahkamah pun menilai tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan kematian sudah termasuk kejahatan yang serius. Sehingga sanksi
pidana yang tercantum dalam pasal dimaksud telah sesuai.
Sumber:
Merdeka.com Reporter : Anwar Khumaini | Senin, 19 Januari 2015 08:47
link:
http://www.merdeka.com/peristiwa/pro-kontra-hukuman-mati-atas-nama-agama-dan-ham-splitnews-2.html
Thanks for reading & sharing BEREDAR KABAR
0 komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda?