Home » » Kontroversi Saksi Mahkota Kasus Antasari

Kontroversi Saksi Mahkota Kasus Antasari

Posted by BEREDAR KABAR on Jumat, 23 Desember 2011

SEJATINYA, perdebatan kontroversial tentang 'saksi mahkota' (kroongetuide) dalam due-process of law telah lama terjadi. Kendati demikian, pembicaraan perihal topik ini mencuat kembali dan bertambah seru tatkala Kombes Wiliardi Wizard memberikan kesaksian dalam persidangan kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Antasari Azhar, pada awal November lalu.
Dalam kesaksiannya, Wiliardi menyatakan bahwa ia merasa 'diarahkan' oleh petinggi Polri dalam proses penyidikan, yang tujuannya menjerat Antasari dalam rangkaian tuduhan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen.
Terlepas apakah pernyataan Wiliardi dalam kesaksian itu benar atau tidak, yang sudah pasti, Wiliardi sudah memberikan kesaksian -- dimana ia dan teman-tamannya yang lain juga bersama-sama didakwa dalam kasus itu -- atas terdakwa Antasari Azhar. Saksi yang demikian ini dalam praktek hukum pidana dinamakan 'saksi mahkota'. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya kembali perdebatan mengenai kontroversi 'saksi mahkota' itu.
Ketentuan KUHAP
Untuk kasus tertentu, seringkali dijumpai bahwa penyidik kesulitan untuk mendapatkan saksi. Oleh karena itu, tak jarang di persidangan muncul saksi yang juga berstatus sebgai terdakwa. Inilah yang kemudian dikenal sebagai 'saksi mahkota' (kroongetuide).
Meskipun tidak diberikan definisi otentik dalam KUHAP, namun berdasarkan kenyataan, 'saksi mahkota' didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan tindak pidana.
Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa adalah dalam bentuk ditiadakannya penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Menurut Prof. Loebby Loqman, yang dimaksud dengan 'saksi mahkota' adalah kesaksian sesama terdakwa yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.
Pada awalnya pengaturan mengenai 'saksi mahkota' hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 KUHAP, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.
Selanjutnya dalam perkembangannya, tentang 'saksi mahkota' sebagai alat bukti dalam perkara pidana dijumpai dalam Yurisprudensi melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Dalam yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila Jaksa Penuntut Umum mengajukan 'saksi mahkota' di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian.
Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang 'saksi mahkota' yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum yang perkaranya diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti. Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan 'saksi mahkota' sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perkara itu diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitszing) serta apabila dalam perkara tersebut masih kekurangan alat bukti, khususnya saksi.
Perkara Pidana
Penggunaan 'saksi mahkota' sebagai alat bukti dalam perkara pidana tentunya akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridik. Munculnya alasan untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan masyarakat sebagai dasar argumentasi diajukannya 'saksi mahkota' bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan 'saksi mahkota' itu sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.
Secara normatif penggunaan dan pengajuan 'saksi mahkota' merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah HAM sebagaimana dikenal dalam KUHAP maupun International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Selanjutnya, sehubungan dengan 'saksi mahkota' ini, ada perkembangan menarik dari sikap Mahkamah Agung. Di satu sisi, Mahkamah Agung berpendirian bahwa undang-undang tidak melarang jika Jaksa Penuntut Umum mengajukan 'saksi mahkota' dengan syarat dan kondisi tertentu (Putusan MA Nomor: 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Mret 1990), sedangkan di sisi lain, berdasarkan Putusan MA Nomor : 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Nomor: 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Nomor: 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dimana secara yuridik pemecahan terdakwa sebagai 'saksi mahkota' terhadap terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM (Lilik Mulyadi, 2003).
Jika dicermati lebih mendalam, akan diketemukan paradoksal yang berupa beberapa bentuk pelanggaran apabila 'saksi mahkota' dipaksakan penggunaannya dalam praktek peradilan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut adalah:
Bahwa 'saksi mahkota' pada esensinya adalah berstatus sebagai terdakwa. Oleh karena itu, sebagai terdakwa ia mempunyai hak untuk diam atau bahkan hak untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau bohong. Hal ini sebagai konsekwensi yang melekat akibat tidak diwajibkannya terdakwa untuk bersumpah dalam memberikan keterangan. Pasal 66 KUHAP juga mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani pembuktian karena beban pembuktian ada pada Jaksa Penuntut Umum;
Bahwa dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya di persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai 'saksi mahkota' tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan sumpah. Kosekwensi terhadap pelanggaran sumpah ini adalah ia bisa diancam melanggar Pasal 242 KUHPidana. Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena ia tidak dapat menggunakan haknya untuk ingkar atau berbohong. Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan 'saksi mahkota' tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan dalam hal ini kekerasan psikis;
Bahwa sebagai pihak yang bersatus sebagai terdakwa walaupun dalam perkara lainnya berperan sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang diberikan oleh terdakwa/'saksi mahkota' hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 185 ayat (3) KUHAP;
Bahwa seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai 'saksi mahkota' yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non-self incrimination (Setyono, 2008).
Kepastian Hukum
Mengingat penggunaan 'saksi mahkota' dalam praktek peradilan pidana dapat menimbulkan implikasi yuridik yang serius terkait dengan HAM, maka penggunaannya perlu dipikirkan kembali secara matang. Akan lebih menjamin kepastian hukum apabila eksistensi 'saksi mahkota' ini diatur dengan payung hukum yang jelas.
Dalam kaitannya dengan kasus Antasari Azhar, dkk, pertanyan yang dapat dikemukakan adalah apakah nantinya Antasari Azhar, dkk dapat lepas dari jerat hukum karena dalam persidangan digunakan 'saksi mahkota'?. Kita harap sabar menunggu, sebab episode sidang Antasari Azhar, dkk masih menyisakan adegan-adegan yang mungkin saja mengejutkan dan tidak gampang diduga, tidak seperti kebanyakan sinetron kita. 
Oleh : SP. Wibowo, SH, MHum, Advokat & Dosen FH Untag Surabaya.

Thanks for reading & sharing BEREDAR KABAR

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda?