KEPUTUSAN
Portugis meninggalkan Timor Leste adalah hal ketiga yang disampaikan Soeharto
saat bertemu Presiden Amerika Serikat Gerard Ford, di Camp David, Maryland, 5
Juli 1975.
Pertemuan
berlangsung tengah hari. Menurut dokumen Gedung Putih yang dirilis oleh the
National Security Archive sehari setelah kematian Soeharto akhir Januari lalu,
di ruang pertemuan Soeharto hanya ditemani seorang penterjemah bernama Widodo.
Adapun Ford ditemani penasihat pertahanan Gedung Putih Letnan Jenderal Brent
Scowcroft. Menteri luar negeri Henry A Kissinger bergabung 15 menit sebelum
pertemuan berakhir.
Tulisan
ini juga dimuat di myRMnews.com.
Itu
adalah kunjungan resmi kedua Soeharto ke Amerika Serikat. Lima tahun
sebelumnya, Mei 1970, dia bertemu Presiden Nixon di Gedung Putih. Seperti dalam
pertemuan di Gedung Putih, dalam pertemuan di Camp David, Soeharto juga
menyampaikan sejumlah hal yang serupa. Mulai dari keamanan regional dan
pengaruh komunisme, sampai bantuan peralatan militer untuk Indonesia.
Yang
agak berbeda, ketika menyampaikan soal keamanan regional dan pengaruh komunisme
kali ini Soeharto membawa kasus Timor Leste.
“Menurut
UUD 1945, kami tidak akan menggunakan jalan agresi terhadap negara lain. Dengan
demikian Indonesia tidak akan menggunakan kekuatan militer untuk merebut
teritori negara lain. Dengan rasa hormat kepada Timor Timur, kami mendukung
proses dekolonisasi Portugis di sana lewat jalan penenetuan nasib sendiri oleh
rakyat Timor Timur,” kata Soeharto memulai hal ketiga yang ingin dibahasnya
dalam pertemuan itu.
Dia
melanjutkan kalimatnya.
Sebetulnya,
menurut Soeharto, ada tiga kemungkinan berkaitan dengan masa depan Timor Timur.
Pertama merdeka sebagai negara yang independen; kedua tetap bersama Portugis;
dan ketiga, bergabung dengan Indonesia.
“Dengan
wilayah yang begitu kecil, sebuah negara independen akan menghadapi kesulitan.
Sementara bila tetap bersama Portugis, mereka akan menghadapi hambatan besar
mengingat Protugis berada begitu jauh. Kalau mereka mau bergabung dengan
Indonesia sebagai sebuah negara yang independen, jelas tidak mungkin. Karena
Indonesia adalah negara kesatuan. Satu-satunya jalan adalah integrasi dengan
Indonesia,” urai Soeharto.
Ford
lalu buka mulut. “Apakah Portugis sudah menentukan kapan rakyat Timor Timur
boleh mengambil keputusan mengenai masalah ini?” tanyanya pada Soeharto.
Sama
sekali belum ada waktu yang ditentukan, jawab Soeharto. Tetapi, sambungnya, hal
itu tergantung pada kesepakatan rakyat Timor Timur.
“Persoalannya
adalah, pihak yang menginginkan merdeka sebagai negara independen dipengaruhi
oleh komunis. Dan semua yang menginginkan integrasi dengan Indonesia menghadapi
tekanan dari kelompok yang hampir komunis ini,” masih kata Soeharto.
“Saya
ingin menegaskan, bahwa Indonesia tidak berkeinginan mencampuri proses
penentuan nasib sendiri di Timor Timur. Tetapi bagaimana menghadapi hal itu
bila mayoritas rakyat Timor Timur ingin berintegrasi dengan Indonesia,” tutup
Soeharto.
Dalam
dokumen itu Ford disebutkan tidak mengucapkan satu kata pun mengenai persoalan
Timor Timur. Ford hanya berkata bahwa pihaknya sangat menghargai pertemuan
tukar pandangan itu. Terutama yang berkaitan dengan pandangan Soeharto atas
krisis di Indochina.
Setelah
pertemuan itu, bantuan militer Amerika Serikat untuk Indonesia mengalir deras.
Tanggal 5 Desember 1975, Ford dan Kissinger bertemu Soeharto di Jakarta. Sehari
kemudian, militer Indonesia merengsek masuk ke Timor Timur.
Dimulailah
invasi yang kelak menjadi kerikil di dalam di sepatu Indonesia.
Sumber:
teguhtimur.com 11, Monday, Februari 2003
Thanks for reading & sharing BEREDAR KABAR
0 komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda?