Home » » Perkembangan Hukum (Pidana/Acara Pidana) dan Hak Azasi Manusia di Indonesia

Perkembangan Hukum (Pidana/Acara Pidana) dan Hak Azasi Manusia di Indonesia

Posted by BEREDAR KABAR on Jumat, 23 Desember 2011

I. PENDAHULUAN
Van Vollenhoven (penemu hukum adat Indonesia) :
Ketika Jan Pieter Zoon Coen menjatuhkan sauhnya pertama kali di Sundakelapa (Jakarta), pada tahun 1602 Indonesia yang waktu itu disebut Hindia Timur (Oost Indie), tidaklah sunyi dari lembaga tatanegara dan tatahukum. Kemudian Van Vollenhoven menemukan ada 19 wilayah persekutuan di Indonesia, wilayah yang beraneka ragam hukum adatnya. Perbedaan itu diwarnai dengan adanya tiga garis keturunan, yaitu garis keturunan patrilineal (garis bapak), seperti suku Batak, garis keturunan matrilineal (garis Ibu) yaitu suku Minangkabau, garis keturunan patrilineal (garis keturunan ibu/bapak), seperti orang Jawa, Sunda, Banjar, Bugis/Makassar dll. Garis keturunan ini sangat penting dalam hukum perdata, misalnya hukum perkawinan dan hukum waris.
Hukum adat ini berkembang juga sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, dalam hukum waris di wilayah yang menganut garis keturunan patrilineal (ibu/bapak) seperti Jawa, yang semula pembagian antara lelaki dan perempuan dua banding satu dikenal istilah sapikul-sagendong (lelaki memikul jadi dua bagian sedangkan perempuan menggendong, berarti satu bagian). Di daerah Bugis dikenal istilah ma;jujung-ma.lempa (menjunjung-memikul) yang maksudnya sama dengan di Jawa yang perempuan menggendong, sedangkan di dareah Bugis perempuan menjunjung barang di atas kepala, yang berarti bagiannya haknya satu, sedangkan lelaki memikul barang muka-belakang, berarti lelaki dapat dua bagian.
Hal ini sesuai dengan keadaan pada zaman itu, yang perempuan (isteri) tinggal di rumah, sedangkan lelaki (suami) sejak subuh sampai petang bekerja di sawah, kena panas dan hujan. Kemudian, akibat pendidikan yang mulai meningkat, isteri pun ada yang bekerja di samping suami. Jadi, adagium sapikul sagendong atau ma’junjung-ma’lempa tidak dapat dipertahankan. Terjadi emansipasi, bahkan, ada perempuan menjadi direktur, sedangkan suami ada yang menjadi supir isterinya, bahkan ada perempuan menjadi presiden, menteri, hakim, jaksa, polisi, advokat sedangkan ada suami menjadi pengangguran atau pensiunan. Menurut saya, dalam keadaan khusus seperti itu, jika terjadi perceraian tanpa turunan, maka gono-gini mestinya terbalik, mantan isteri mendapat lebih banyak sesuai dengan pendapatannya.

II. PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DAN ACARA PIDANA.
Mula-mula, setiap wilayah persekutuan hukum melaksanakan hukum pidana sendiri-sendiri dengan peradilan adat dan swapraja. Pidana pun berbeda-beda, umumnya ada pidana mati, ada dengan cara digantung, ada dengan cara dicekik, ada di daerah Bugis dengan cara ditusuk keris, ada yang ditenggelamkan di laut (misalnya orang Bali yang menyetubuhi hewan, ditenggelamkan di laut hidup-hidup dengan hewannya sekalian). Begitu pula orang biasa di daerah Bugis yang menghamili puteri raja, ditenggelamkan di laut hidup-hidup. Pendeknya, tidak ada pidana penjara. Yang ada, selain pidana mati, ada pidana denda dan pidana fisik. Pencuri di daerah Bugis, dipidana dipikul seperti babi dan diarak keliling pasar.
Di Eropa pun dahulu kala, tidak ada pidana penjara. Umumnya, dikenal pidana mati dengan cara pelaksanaan sangat kejam, seperti dibakar hidup-hidup, ditarik kakinya oleh dua ekor kuda ke arah berlainan, dipancung, ditenggalamkan di laut dan pidana fisik yang lain seperti di Greenland sampai kini orang yang memperkosa, dipidana dikebiri. Pidana denda adalah umum.
Setelah VOC berkuasa di Jakarta, mulai diatur hukum pidana dengan cara plakat-plakat, berupa pengumuman. Pidana mati tetap ada. Pidana penjara yang modern belum dikenal, yang dikenal ialah pengurungan seperti Pangeran Diponegoro di samping pidana pembuangan sampai ke Afrika Selatan seperti Syech Yusuf.
Setelah terbentuk Hindia Belanda (Ned. Indie) pada tahun 1800, disusunlah dua macam KUHP, satu untuk pribumi (inlander) dan Timur Asing, satu untuk golongan Eropa. Pada tahun 1886 mulailah berlaku Nederlandse Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) di Nederland, yang dasarnya individualistic-liberal. Tidak ada pidana mati (sudah dicabut sejak tahun 1870).
Berdasarkan asas konkordansi (corcordantie beginsel) atau asas persamaan yaitu undang-undang yang berlaku di Indonesia, sedapat mungkin sama dengan yang di Nederland. Pada tahun 1915 Het Wetboek van Strafrecht voor Ned. Indie (KUHP untuk Hindia Belanda) dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918, yang melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk wilayah Republik Indonesia dengan nama KUHP atau WvS (Wetboek van Straftrecht). KUHP yang bersumber pada Ned. WvS (KUHP Belanda) tahun 1886 itu ada pasal yang dibuat khusus bagi orang Indonesia, misalnya haatzaai artikelen, yaitu rasa permusuhan kepada pemerintah (colonial). Inilah yang merupakan pasal kolonial. Yang dibedakan juga ancaman pidana mati diperkenalkan padahal di Nederland sudah lama dihapus. Alasannya, Indonesia terdiri atas ribuan pulau, ratusan suku bangsa yang berbeda adat, agama, bahasa dan budayanya. Sulit penegakan hukum, tenaga polisi kurang. Rata-rata pidana penjara lebih berat di Indonesia daripada di Nederland.
KUHP Indonesia yang sekarang berlaku berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 78 Tahun 1958, yang bersumber dari KUHP Belanda yang sudah berumur 126 tahun itu sudah sangat ketinggalan zaman.
  1. Banyak kejahatan baru tidak tercakup di dalamnya, seperti kejahatan di bidang lingkungan hidup, kejahatan komputer dan cyber, penyadapan, perekaman tanpa izin, kerjasama internasional dan regional.
  2. Pidana denda yang justru menjadi primadona di Negara maju, tidak pernah diterapkan karena terlalu amat rendah di makan inflasi. Legislatif kita (Pemerintah dan DPR) sangat lalai dalam hal ini. Dengan satu pasal saja perubahan dapat dilakukan : “semua pidana denda yang tercantum di dalam KUHP dinaikkan 10.000 kali”. Jadi, pencurian yang dendanya sekarang maksimal Rp. 900,- mestinya menjadi maksimal 9 juta rupiah.
  3. Tidak diperkenalkan penyelesaian di luar pengadilan. Di Rusia dengan KUHP nya baru, semua delik yang ancaman pidananya 10 tahun ke bawah dapat diselesaikan di luar pengadilan ((afdoening buiten proces) jika motifnya ringan dan sedang, dengan mengganti kerugian kepada korban. Di Nederland, delik yang ancaman pidana penjaranya enam tahun ke bawah dapat diselesaikan di luar pengadilan. Di Perancis, yang ancaman pidana penjaranya lima tahun ke bawah. Dalam Rancangan KUHAP : empat tahun ke bawah, kecuali tersangka yang berumur 70 tahun ke atas : lima tahun ke bawah.
  4. Tidak diperkenankan submissie, yang sudah diperkenalkan di Rusia, Nederland dll, yaitu terdakwa sebelum sidang, dapat memohon hakim langsung menerapkan pidana tanpa sidang dengan mengakui seluruh dakwaan. Dengan persetujuan PU (bisa melalui telepon), langsung hakim tunggal menerapkan pidana tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Tidak ada pengacara, tidak ada banding, tidak ada kasasi. Semua ini bermaksud mempercepat proses.
  5. Banyak pasal yang sudah diubah di Nederland, KUHP kita tetap kuno. Misalnya, perusakan barang (Pasal 406 KUHP), yang dilakukan dengan sengaja, sudah ditambah di Nederland “karena kelalaiannya barang orang lain rusak”. Delik penipuan sudah ditambah dengan penipuan komputer.
III. HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA.
Judul ini sangat kontras, karena hukum pidana itu langsung berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang tertinggi ialah hak untuk hidup, hukum pidana mengenal pidana mati. Ada hak asasi untuk bebas bergerak, hukum pidana mengenal pidana penjara dan sistem penahanan yang merampas kebebasan bergerak. Ada hak asasi untuk memiliki, ada pidana perampasan, dst.
Untuk menghilangkan pengenaan pidana yang semena-mena, karena langsung menyentuh hak asasi manusia, diperkenalkan beberapa asas. Akibat revolusi Perancis yang meletus karena pengenaan pidana semena-mena dan tidak adil, maka muncul asas legalitas yang diperkenalkan oleh sarjana Anselmus von Feuerbach yang bahasa latinnya : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ada sebelumnya). Asas ini muncul di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Perancis dan Belanda, tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Ned. WvS, dan kemudian Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia. Rumus ini kemudian berkembang lagi yang lebih manusiawi, menjadi “nullum crimen sine lege stricta” (tidak ada delik tanpa undang-undang yang tegas sebelumnya). Hal ini berarti tidak cukup ada undang-undang sebelum perbuatan, jika undang-undang itu rumusannya bersifat karet dapat ditafsirkan bermacam-macam. Maksudnya : rumusan delik itu harus berupa definisi. Demikianlah, sehingga jika dibaca dengan teliti rumusan delik dalam KUHP, semuanya bersifat definisi. Delik pencurian misalnya (Pasal 362 KUHP) berbunyi : “mengambil suatu barang (enig goed), seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum”. Jadi, mencuri barang sendiri misalnya baju di tukang jahit dengan maksud tidak membayar ongkos jahit, bukanlah pencurian. Begitu pula mencuri mobil orang lain sekedar coba-coba dan mengembalikan ke tempat semula, bukanlah pencurian. Lain halnya dengan KUHP negara-negara Anglo-Saxon dan bekas jajahannya seperti Malaysia yang tidak mengenal asas legalitas, dikatakan “barangsiapa mencuri barang milik orang lain” yang berarti walaupun tidak ada maksud untuk memiliki dipidana sebagai pencurian. Di Inggris yang diutamakan hakim yang jujur, bijaksana, cakap, berwawasan luas, memakai hati nurani, bukan bunyi undang-undang yang muluk-muluk.
Pada tahun 1994 bahkan keharusan undang-undang yang strict dicantumkan dalam Code Penal (KUHP Perancis). Asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bermakna:
- Aturan pidana harus tertulis.
- Undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut.
- Dilarang penerapan analogi.
Ada dua macam analogi: Gesetzes analogie (analogi undang-undang) dan Rechtsanalogie (analogi hukum). Analogi undang-undang berarti : jika suatu perbuatan tidak diatur dalam KUHP tetapi masyarakat memandang perlu dipidana, maka diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP. Ini dianut dalam KUHP RRC. Misalnya, dukun cabul dalam mengobati pasien menyetubuhi pasien itu, tanpa paksaan. Jika masyarakat memandang perlu dipidana, sedangkan tidak diatur dalam KUHP, maka diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP, yaitu Pasal 286, “menyetubuhi perempuan itu dalam keadaan sadar. Yang paling pantang ialah penerapan analogi hukum, artinya sama sekali tidak tercantum dalam KUHP yang mirip pun tidak ada, maka di Rusia zaman Stalin, dipidana berdasarkan “perbuatan itu membahayakan social” (socially dangerous), maksudnya semua perbuatan yang cenderung menentang Stalin.
Dalam hukum (pidana) Islam, dikenal juga asas legalitas. Kejahatan dibagi tiga, yaitu hudud, quesas dan takzir. Hudud ialah kejahatan yang tercantum dalam Al Qur’an yang diterapkan asas legalitas. Artinya tidak boleh memakai analogi. Quesas ialah kejahatan terhadap badan yang tercantum juga dalam Al Qur’an, yang dibolehkan secara terbatas analogi. Yang ketiga takzir ialah hukum positif yang diciptakan oleh negara, dibolehkan penerapan analogie.
Asas legalitas dalam hukum pidana materiel (KUHP) memakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk strafbepaling). Jadi, seseorang dapat dipidana berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. (Di Nederland : undang-undang, dekrit raja dan peraturan kotapraja (gemeente). Jadi, sesuai dengan asas legalitas ini, kanun di Aceh dibolehkan mencantumkan aturan pidana. Cuma harus diingat, tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, misalnya adanya pidana di luar yang tercantum di dalam KUHP, seperti pidana cambuk. Juga ancaman pidananya mestinya hanya kurungan atau denda.
Lain halnya asas legalitas dalam hukum acara pidana (KUHAP), pelaksanaan acara pidana harus dengan undang-undang, tidak boleh dengan PP atau PERDA. Tidak boleh orang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili berdasarkan PERDA.
Jadi, sama sekali kanun di Aceh tidak boleh memuat aturan tentang penyidikan, penuntutan, penangkapan penahanan dan seterusnya.

IV. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana.
Dalam KUHAP 1981 sebenarnya sudah banyak ketentuan menyangkut HAM seperti hak-hak tersangka/terdakwa yang jelas dan terinci. Pemeriksaan pendahuluan yang bersifat inquisitoir menurut HIP artinya tersangka menjadi obyke pemeriksaan diganti dengan system accusatoir, sejak pemeriksaan pendahuluan tersangka sudah dapat didampingi penasihat hukum. Akan tetapi sistem pemeriksaan sidang pengadilan masih memakai sistem hakim aktif memimpin sidang dan masih memeriksa berdasarkan berita acara pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik.
Dalam system adversarial, hakim memimpin sidang dan kedua pihak penuntut umum dan terdakwa yang didampingi oleh penasihat hukum berada pada kedudukan berimbang. Masing-masing pihak mengajukan bukti dan dilakukan tanya jawab silang (cross examination). Tidak ada berita acara dipegang oleh hakim, berita acara dari penyidik hanya untuk penuntut umum.
Pada tahun 1989, Italia yang semula menganut sistem Perancis, yang sama dengan Belanda dan Indonesia yang hakim aktif memimpin sidang dan melakukan pertanyaan berdasarkan berita acara penyidik, mengganti dengan system adversarial murni. Tidak ada berita acara pada hakim, yang dipegang hakim hanya surat dakwaan penuntut umum, surat penahanan dan daftar saksi.
Meskipun banyak sekali ketentuan mengenai hak-hak terdakwa dalam KUHAP 1981, namun sistem penahanan masih sama dengan sistem HIR. Penyidik dapat melakukan penahanan 20 hari, diperpanjang oleh penuntut umum 40 hari, penuntut umum dapat melakukan penahanan selama 20 hari. Jadi, penahanan dapat dilakukan selama 80 hari tanpa setahu hakim sama sekali. Ketika hal ini dibaca oleh Prof. Thaman, ahli perbandingan hukum acara pidana dari Amerika Serikat, dia sangat kaget. Dia mengatakan, berdasarkan International Covenant on Civil and Political Right (ICCP) yang sudah diratifikasi Indonesia, Pasal 9 mengatakan apabila seseorang ditangkap, maka promptly (seketika) harus dibawa secara fisik ke hakim untuk dilakukan penahanan. Promptly diartikan di Perancis, Belanda dan semua negara Eropa dan Amerika Serikat maksimum dua kali dua puluh empat jam. Pengecualiannya hanya untuk teroris, satu hari penangkapan dan lima hari penahanan oleh penyidik/penuntut umum (enam hari). Di Malaysia sendiri penyidik hanya boleh melakukan penahanan selama satu kali dua puluh empat jam dan selanjutnya harus dibawa ke hakim. Di Thailand ada hakim bergiliran piket dua puluh empat jam untuk menandatangani surat perintah penahanan. Di Perancis dibentuk hakim khusus yang namanya juge des liberte et de la detention (hakim pembebasan dan penahanan). Tersangka dibawa oleh penyidik (polisi) secara fisik ke depan hakim khusus itu, yang umumnya dalam keadaan diborgol disertai oleh Penuntut Umum dan boleh dihadiri oleh penasihat hukum untuk memohon agar tidak dilakukan penahanan berdasarkan permohonan penuntut umum. Publik boleh menyaksikan adegan tersebut, walaupun ruangan juge des liberte et de la detention tidak lebih empat kali empat meter yang perabotnya satu meja dan satu kursi untuk hakim, empat kursi lain. Umumnya yang hadir berdiri.
Kami Tim Penyusun KUHAP baru, berdebat sengit dengan Prof. Thaman dan Mr. Robert Strang, Jaksa Amerika yang khusus ditempatkan di Indonesia untuk memonitor perkembangan hukum yang menyangkut tugas jaksa. Kedua orang ini pernah ditempatkan di Moskow pada saat Rusia menyusun rancangan KUHAP lima tahun lalu. Kami berargumen tidak mungkin penahanan hanya dua kali dua puluh empat jam oleh Penyidik, karena Indonesia terdiri atas ribuan pulau hubungan sulit. Mereka berpendapat, untuk kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar alasan itu tidak dapat diterima. Untuk daerah terpencil toleransi lima kali dua puluh empat jam (lima hari). Perjalanan dari suatu pulai terpencil tempat penangkapan dilakukan ke kantor polisi tidak dihitung. Hal ini sama dengan Malaysia, waktu perjalanan dari tempat penangkapan ke kantor polisi tidak dihitung.
Dengan alasan batas antara kota dan luar kota sulit ditentukan, misalnya Situ Gintung masuk Provinsi Banten, beberapa meter dari situ masuk DKI, maka sebaliknya untuk semua wilayah dipatok lima hari penahanan dapat dilakukan oleh penyidik (perjalanan dari tempat penangkapan di daerah terpencil tidak dihitung). Demikianlah sehingga dalam rancangan KUHAP ditentukan penahanan lima hari oleh penyidik yang dapat diperpanjang oleh hakim komisaris selama 25 hari, kemudian hakim tiga kali 30 hari. Jadi, jika sekarang penahanan dalam pemeriksaan pendahuluan 110 hari, dalam rancangan 120 hari. Agar lancar, penyidik membawa tersangka, penuntut umum mengisi formulir surat penahanan yang langsung ditandatangani oleh hakim komisaris. Hakim komisaris duduk di kantor setiap hari kerja menunggu penyidik dan penuntut umum membawa tersangka yang penasihat hukum boleh hadir.
Mengapa dibentuk hakim komisaris ? Sangat merepotkan hakim pengadilan negeri jika setiap hari harus menandatangani surat perintah penahan di samping tugasnya yang lain. Hakim komisaris pun berkantor di RUTAN, yang jika telah ditandatangani surat perintah penahanan, tersangka langsung masuk tahanan di tempat itu juga. Apalagi penasihat hukum boleh hadir memohon dengan alasan tertentu agar hakim komisaris menolak menandatangani perintah penahanan. Publik pun boleh menonton, yang semua ini menyangkut hak asasi manusia. Artinya penahanan itu sifatnya perampasan hak bergerak seseorang. Dengan alasan ini juga dibentuk juge des liberte et de la detention di Perancis. Jadi, hakim komisaris dalam Rancangan sama sekali lain dari Rechter Commissaris di Nederland atau juge d’instruction di Perancis.

V. KESIMPULAN.
Hukum pidana dan hukum acara pidana akan tetap berhadapan dengan hak asasi manusia. Sarjana Perancis mengatakan : “C’est eternal conflict entre des liberte et de authorite” (ada pertentangan abadi antara kebebasan dan kekuasaan). Ada adagium presumption of innocence (Inggris), presumption d’innocence (Perancis), presumptie van ontschuldig (Belanda), praduga tak bersalah (Indonesia), yang artinya semua orang dianggap tak bersalah sampai ada putusan tetap bahwa dia bersalah. Akan tetapi bagaimana penyidik dapat menangkap seseorang tanpa diduga keras telah melakukan delik ? Orang yang ditangkap, ditahan dan disidik adalah orang yang diduga keras telah melakukan delik (tindak pidana).
Jadi, semua orang dianggap tak bersalah artinya bukan benar-benar dianggap tak bersalah, akan tetapi semua hak-haknya masih tetap ada sebagai orang tak bersalah. Misalnya, pidana lima tahun adalah alasan isteri/suami minta cerai. Dalam hal ini orang-orang ditangkap, ditahan, disidik, yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih, tidak dapat menjadi alasan isteri/suami minta cerai. Dia harus menunggu sampai ada putusan yang menjadi tetap, yang suami/isteri dipidana lima tahun penjara atau lebih.
Jakarta, 14 Mei 2009

Oleh: Prof. Dr. A. Hamzah, SH (Makalah disampaikan pada; Pelaithan Peradilan HAM bagi aparat Kejaksaan di Hotel Gran Mahakam Jakarta 1-2 Juni 2009).

Thanks for reading & sharing BEREDAR KABAR

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda?