Home » » Pertempuran Surabaya 1945 (3) Saat Sukarno Memutuskan untuk Diam

Pertempuran Surabaya 1945 (3) Saat Sukarno Memutuskan untuk Diam

Posted by BEREDAR KABAR on Rabu, 08 Februari 2012

Pada Jumat malam bersejarah, 9 November, Presiden pertama Republik Indonesia, yang masih tertatih-tatih, pulang ke rumah dengan hati gundah.
Sukarno telah memutuskan untuk tidak berpidato, atau membuat sebuah keputusan, dan itu bukan hal yang biasa, karena ia salah satu dari orator paling karismatik dan menentukan di Asia Tenggara.
Kali ini ia memutuskan untuk tidak berbicara, tidak memberi perintah terkait serangan besar Inggris ke Surabaya, di mana Gubernur Jawa Timur Suryo menunggu.
Rakyat Surabaya setia pada presiden, tetapi mereka putus asa menanti persetujuan formalnya untuk menolak ultimatum Inggris. Inggris meminta pasukan Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka dan menghukum para pejuang Surabaya yang menyerang dan membunuh ratusan tentara Inggris ketika berusaha menduduki kota pada 27–29 Oktober 1945.
Inggris, sejak kekalahan itu, meningkatkan tekanan untuk menghancurkan Surabaya. Dua skuadron tempur—pengebom, kapal-kapal untuk menembakkan kanon dari lepas pantai, dan ribuan tentara dari bagian Asia Tenggara yang lain siap menyerang kota itu.
Jika Sukarno memerintahkan mereka menerima ultimatum tersebut—yang berarti menyerah—Republik yang baru berdiri ini akan selesai dalam waktu yang tidak lama. Inggris segera mendudukkan kembali pemerintahan sipil Belanda, NICA.
Surabaya adalah satu-satunya teritori independen Republik baru yang masih tersisa. Pasukan asing, Inggris, dan Belanda menggunakan Jepang dan bersama-sama ketiganya meredam kerusuhan di Bandung dan Semarang dan menguasai kota-kota lain, termasuk Jakarta, Bogor, dan Medan.
Jika Surabaya jatuh, Republik baru ini tidak akan memiliki wilayah merdeka lainnya. Dunia luar masih menyebut Indonesia Hindia Timur Belanda, dan para wartawan asing menggunakan nama Batavia, bukan Jakarta. Republik baru ini akan berada dalam bahaya atau menghilang dari pandangan.
Di sisi lain, jika Presiden memerintahkan Gubernur Suryo bertempur, Inggris akan melihatnya sebagai tindakan memusuhi dan memperlakukannya sebagai musuh.
Sukarno dan Hatta berada di Jakarta, dalam pengawasan Komando Pasukan Sekutu. Sukarno dan Hatta telah berada dalam ancaman penahanan, karena Belanda telah memaksa mereka untuk ditahan.
Gencatan Senjata
Sukarno sendiri telah membantu Inggris, pada 30 Oktober, dengan menyepakati menggunakan pengaruhnya untuk gencatan senjata. Inggris menggunakan masa itu untuk menyelamatkan para tentara yang terjebak, yang juga akan tewas seandainya Presiden tidak campur tangan.
Dari momen kedatangan mereka, Inggris yang mewakili Pasukan Sekutu telah mengeluarkan maklumat mereka berada di Hindia Timur Belanda untuk menerima penyerahan diri Jepang, mengamankan ribuan tahanan dan tahanan perang, dan mendudukkan kembali pemerintahan sipil NICA Belanda, untuk memulai Mark II dari Hindia Timur Belanda.
Tetapi Inggris menduduki kota itu, melanggar kesepakatan pertama dengan Gubernur Suryo. Surabaya memberontak. Mereka mengambil alih senjata-senjata tentara Jepang dan dengan brutal menghentikan tentara Inggris yang hendak menduduki Surabaya.
Sejak sekitar 22 Augustus 1945, Surabaya telah bebas, dan pada Jumat 9 November, Inggris menuntut mereka menyerahkan senjata dan kemerdekaan mereka.
Troika pemimpin Republik: Gubernur Suryo, Residen Sudirman, dan Dul Arnowo, yang didukung Kolonel Sungkono, tahu mereka dalam posisi menguntungkan, tetapi juga berharap menerima restu dari presiden mereka.
Irna HN Hadi Soewito, dalam bukunya Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, mengatakan bahwa Kolonel Sungkono tahu betul Inggris mengawali pembicaraan damai karena rakyat Surabaya telah menyudutkan dan bahkan bisa membasmi mereka.
Brigade ke-49 yang beranggotakan 6.000 prajurit terjebak dan dengan mudah bisa dihabiskan seluruhnya oleh pasukan arek Surabaya, yang berjumlah sekitar 20.000—pejuang bersenjata, dan mungkin sekitar 120.000 pejuang jalanan, yang membawa pedang, bambu runcing, dan senjata ringan.
Semangat para arek Surabaya tinggi; mereka siap mati demi mempertahankan kemerdekaan mereka. Pasukan India-Inggris, meskipun memiliki pengalaman dan kualitas tempur yang besar, tidak punya motivasi untuk bertempur; mayoritas tentara India tidak ingin bertempur melawan orang muslim. Gencatan senjata diberlakukan untuk keuntungan Inggris.
Jika Presiden Sukarno memiliki strategi militer, ia akan tinggal di Surabaya, dan memimpin revolusi fisik dari sana. Namun selama hidupnya ia menghindari pertempuran fisik (meskipun pidato-pidatonya berapi-api), dan ia kembali ke Ibu Kota.
Kabinet barunya adalah satu satu “negosiasi” yang menuntut kehadirannya di Jakarta, meskipun ia dan Hatta di bawah ancaman Belanda, yang menyebut para pejuang kemerdekaan “bajingan” (brigands).
Penulis : Francis Palmos, adalah pengarang buku, bersama Presiden Sukarno di Istana Merdeka pada 1965.

Sumber: Harian Sinar Harapan
Diakses dari::
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pertempuran-surabaya-1945-3-saat-sukarno-memutuskan-untuk-diam/

Thanks for reading & sharing BEREDAR KABAR

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda?