Pernah ada sticker di kendaraan yang lalu lalang di Jakarta. Di kertas tempel itu ada gambar Soeharto, dengan tulisan logat Jawa: piye kabare, enak jamanku to.
Tidak tahu untuk apa sticker itu dibuat. Pencetusnya pun entah siapa. Yang
jelas, sticker itu tentu masih “hidup”. Setidaknya setiap kali kita berjumpa “kotoran”
di kira kanan, yang mungkin saja lebih “najis”, dibanding Orde Baru.
Andai Soeharto masih hidup, mungkin saja ia akan tersenyum sinis. Sembari
bicara dalam hati: betapa konyolnya kalian melaksanakan pemilihan umum. Hampir
setiap sudut jalan dijejal baliho, yang tidak bisa dikalkulasi berapa banyak
pemilih yang dia rekrut.
Tentu anda berhak mengatakan, zaman sudah berubah dan peradaban bergerak
dengan gayanya sendiri. Tetapi pernahkah anda mendengar pada pemilu tempo dulu
ada rumah sakit sediakan ruang perawatan khusus untuk caleg gagal yang stress,
misalnya?
Tiga puluh dua tahun lamanya Soeharto berkuasa. Terlepas dari anda suka
atau benci padanya, tetapi pernahkah anda melihat Soeharto berkeliling pelosok
negeri menjajakan diri untuk meminta restu rakyat agar menjadi presiden
berulang kali?
Dalam catatan pinggirnya 13 Nobember 1976, Goenawan Mohamad berkisah, di abad ke 19, si calon presiden cukup tinggal di rumah. Bahkan di tahun 1860 Stepen A. Douglas, yang mengunjungi seantero negeri untuk memperoleh suara, dikecam: ”Itu cara baru yang patut disesalkan, karena tak layak dilakukan oleh seorang calon untuk jabatan kepresidenan”.
Kini cara baru itu menjadi kemestian. Seorang calon presiden harus jadi
salesman, juru jual yang berkeliling membujuk, bagi dirinya sendiri dan
cita-citanya. Ia harus bersedia mandi keringat, lelah, kotor, dengan tangan
lecet saking banyaknya berjabatan.
Tentu tidak seorang pun di antara kita yang ingin kembali ke masa lalu.
Karena perubahan bukan bergulir ke belakang. Sehingga kalau mau
menerima cara baru pemilihan presiden, maka Anies Baswedan mungkin perlu
menjadi perhatian. Ia dengan susah payah berkeliling kampus dengan pola
kampanye Desak Anies. Berhasilkah?
Sebagian di antara kita mungkin akan menjawab Anies berhasil. Setidaknya
ia berhasil menghadirkan cara yang “lebih baru” berkampanye presiden, karena faktanya
memang ada ribuan mahasiswa gegap gempita menyambutnya dalam Desak Anies. Sedangkan
selebihnya, mungkin akan mengatakan Anies gagal. Karena perolehan suaranya
tidak memadai untuk menang pilpres.
Persoalannya, menang pilpres di negara kita tidak terlampau susah. Karena pemenang sudah disampaikan kepada masyarakat sebelum pemilihan dilaksanakan, oleh lembaga-lembaga survey.
Oleh karena itu, ke depan mungkin rakyat tidak perlu buang waktu berpayah-payah ke bilik suara, untuk mencoblos. Cukup bertanya pada lembaga survey: piye kabare.
Thanks for reading & sharing BEREDAR KABAR
0 komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda?